Senin, 15 Desember 2008

Analisis Novel Angkatan 77 "Matahari Dibatas Cakrawala"

MATAHARINM DIBATAS CAKRAWALA
Karya : Mira W

A. SINOPSIS

Novel ini menceritakan tentang perjuangan dan pengabdian seorang wanita yang menjadi istri seorang dokter yang di tempatkan di daerah terpencil dan seorang ibu yang harus kehilangan anaknya. Wita merupakan nama dari wanita muda itu, berawal dari kesalahan di masa remajanya yang mencoba menggugurkan kandungan pada seorang dukun, hal tersebut merupakan kesalahan terbesar dalam hidupnya karena dia terlalu terlena dalam pergaulan bebas, Wita merupakan wanita yang di idolakan teman – teman pria sekolahnya. Kesalahannya itu telah menghancurkan harapan kedua orang orang tuanya padahal ia adalah anak kebanggaan kedua orang tuanya.
Karena pria yang menghamilinya tidak mau bertangggung jawab, akhirnya Wita mencoba menggugurkannya dengan meminum shampoo. Alhasil ia pun masuk Rumah Sakit, dan di Rumah Sakit itu ia bertemu dengan seorang dokter muda bernama Irwan yang kemudian jatuh cinta.
Setelah menjalani pemeriksaan dokter menyatakan bahwa Wita hamil. Betapa terpukulnya dia mendengar berita itu, secara diam – diam Wita datang ke Rumah Sakit itu lagi meminta agar dokter mau menggugurkan kandungannya, tetapi dengan cepat dokter pun menolaknya. Karena putus asa Wita pun akhirnya mendatangangi dukun mengggugurkan kandungannya, dank arena ulahnya itulah ia hamper meninggal dan harus membayar mahal atas kesalahannya itu, Wita kehilangan kesempatan untuk menjadi seorang ibu, dokter melarangnya hamil, karena hamil dapat membahayakan jiwanya.
Dengan penuh kesabaran dokter Irwan merawat Wita, benih – benih cinta pun tumbuh dalam hati keduanya, dan pada akhirnya mereka pun menikah, walau ayah Wita pada awalnya tidak merestuinya karena sebuah alasan bahwa Irwan masih dokter kemarin sore.
Di awal pernikahannya cobaan pun mulai datang, Irwan harus di rempatkan di daerah terpencil dengan gaji yang sangat minim. Dalam pernikahannya mareka sangat menginginkan kehadiran seorang anak. Awalnya Wita sudah putus asa tapi karena sebuah keyakinan dari suaminya Wita pun tabah dan sabar menghadapinya. Sampai pada akhirnya Wita pun hamil dan mereka benar – benar bahagia.
Suka duka sebagai isteri dokter Inpres yang di kirim di daerah terpencil, membuat Wita sedikit demi sedikit mengubah sifatnya yang manja, menjadi seorang isr\teri yang matang, penuh tangggung jawab dan amat mencintai suaminya yang selalu sibuk di libat tugas di desa. Bulan berganti bulan, kehamilan Wita pun semakin besar dan akhirnya tibalah waktunya ia melahirkan. Wita harus berjuang sepenuh tenaga, bahkan dia rela mempertaruhkan nyawanya di atas meja operasi dan mengorbankan rahimnya dari pada harus mengugurkan kandungan nya untuk yang kedua kalinya. Nyawa pun di pertaruhkan demi mempersembahkan buah hati untuk suami tercinta. Wita bahkan merelakan rahimnya untuk di angkat setelah kelahiran putrinya. Dengan kehadiran putrinya Nike, kehidupan mereka teramat bahagia.
Tetapi kebahagiaan itupun harus sirna ketika dokter Irwan di tuduh telah mengaborsi kandungan anak seorang kepala desa. Awalnya Wita tidak percaya, bahkan Wita mempunyai praduga lain. Apakah janin yang di kandung anak kepala desa tersebut anak suaminya! Hasil perselingkuhan suaminya dengan wanita itu, mengingat waktu itu anak kepala desa tersebut sempat menaruh hati pada suaminya.Mungkin alasan itulah suaminya menggugurakan kandungan anak kepala desa tersebut. Akhirnya Wita pun menemui wanita itu, dan dari mulut wanita itulah Wita mendapatkan penjelasan dan pengakuan yang membuat hatinya terhentak. Suaminya melakukan hal itu karena suatu alasan masa lalu, Ia tidak ingin anak kepala desa tersebut mengalami nasib seperti Wita yang nekad datang ke dukun untuk mengugurkan kandungannya dan harus mempertaruhkan nyawa serta rahimnya.
Cobaan pun datang bertubi – tubi, di saat yang bersamaan Nike pun terkena penyakit folio, sampai akhirnya dokter memfonis Nike menderita penyakit Leukemia. Dan akibat penyakitnya itulah Nike harus pergi meninggalkan kehidupan ayah bundanya untuk selama – lamanya.
Akhirnya Irwan pun bebas, walau dia terkena skorsing beberapa tahun sebelum ia boleh berpraktek lagi sebagai dokter kembali. Mereka tinggal kembali di Jakarta. Akhirnya mereka pun mengadopsi anak dan mereka menjalani kehidupan dengan penuh bahagia.


B. Unsur – unsur instristik

a) Tema :
Matahari di batas cakrawala adalah sebuah novel yang bertemakan tentang sebuah perjuangan dan pengabdian seorang wanita yang menjadi istri seorang dokter dan seorang ibu yang benar – benar menyayangi anaknya.

b) Amanat :
Novel di batas cakrawala mengandung amanat bahwa kita harus berhati –hati dalam hidup dan dalam bergaul. Novel ini pun mengajarkan agar kita menjadi seorang istri yang baik, penuh kesabaran dan kesetiaan mendampingi suami. Serta menjadi seorang ibu yang bias di jadikan panutan bagi anaknya. Novel ini pun memperlihatkan bahwa cinta itu misterius, oleh karena itu allah memberi akal pikiran kepada manusia supaya bias mengurai misteri itu menjadi sebuah kehidupan yang bermakna. Dan hanya orang sabar dan ikhlaslah yang dapat menguikan menjadi arti hidup yang penuh makna, walau terkadang kehidupan yang kita jalani tak seindah denga apa yang kita inginkan. Dasn semua itu tidak akan luput dari sebuah doa dan ikhtiar.

c) Alur :
Alur novel ini menggunakan alur maju mundur, sebab penulis dalam menuliskan kisah ini menceritakan kisah kejadian yang sedang di alami tokoh dalam novel dan di selingi bercerita tentang kejadian masa lalu tokoh dalam novel.

d) Tokoh :
Tokoh yang terdapat pada novel :
1. Wita
2. Darius
3. Dokter Rizal
4. Dokter Irwan
5. Dokter Muchtar
6. Dokter Wiratmo
7. Dokter Siregar
8. Ibu Wita
9. Bapak Wita
10. Nike

e) Latar :
Latar pada novel Matahari di batas cakrawala :
1. Rumah sakit
2. Rumah Wita
3. Rumah Irwan dan wita

f) Sudut pandang :
Sudut pandang dalam novel Matahari di Batas Cakrawala meggunakan orang ke 1, karena dalam novel ini si penulis novel menggunakan kata aku sebagai orang pertama.

g) Gaya bahasa :
Gaya bahasa pada novel Matahari di Batas Cakrawala menggunakan gaya bahasa biasa saja. Pada novel ini mengguakan bahasa Indonesia yang cukup baku, tidak terdapat majas atau kata- kata pribahasa.






C. Kutipan yang dianggap menarik
Polio !
Ya, Tuhan !
Anakku lumpuh ???......
Seperti petir kata-kata dokter itu menyambar telingaku tidak keras memang. Malah pelan, hampir tak terdengar. Ketika memfonis Nike, kata-katanya seperti ledakan halilintar di telingaku. Polio !
Sejenak aku tidak mampu berkata apa-apa. Sejenak otakku terasa kosong hanya sepotong kata itu selalu memantul kembali di otakku, polio-polio, gemanya seakan-akan terasa sampai ke ujung jari kakiku.
Aku bukan dokter. Aku Cuma seorang ibu yang malang. Ibu dari seorang anak perempuan kecil yang sedang lucu-lucunya, yang harus kehilangan kelincahannya karena penyakit terkutuk itu ! (hal. 9)
Hasilnya positif tak ada keraguan lagi. Ada bayi di rahimku, bayi darius ! Bayi tanpa ayah. Anak haram!!!
Duh lebih baik aku mati dari pada menanggung malu begini. Aku belum ingin punya anak. Apabila anak haram. Harus dikemanakan muka ini ? Harus kukemanakan kebanggan orang tuaku ? Mereka begitu mengasihiku. Inilah yang kulakukan untuk membalas kasih sayang mereka ?
Saya tidak menginginkan bayi ini, “tangisku di depan dokter Rizal, “tolong dokter ! tolong saya. Singkirkan anak ini !
“Dia anakmu, Wita. Buah cintamu dengan ayahnya”
“Saya tidak mencintainya Ratapku jengkel.” Ini Cuma kecelakaan ! saya tidak tahu apa yang saya lakukan !”
“Tai sekarang anak itu telah ada dalam rajimmu, Wita, kau telah menjadi Ibu”
“Saya tidak mau !”
“Dia di sana karena kesalahanmu, Wita. Mengapa yang mesti menanggung hukumannya ? Kalau kau berdoa Wita, kenapa anakmu yang harus kau hukum ?”
Aku tidak kenal pada makhluk yang sekarang katanya berada dalam perutku. Kalaupun benar ada, dia lahir dari benih Darius ! Darius yang ku benci ! Menginggatnya saja aku sudah jijik. Apalagi mengandung anaknya !
“Dokter dididik untuk menyambung kehidupan manusia, Wita. Bukan memusnahkannya. Maaf saya tidak dapat.” (hal. 28)
Entah setan mana yang membisikan nama tempat itu padaku. Entah iblis apa yang menunjukkan jalannya. Tanpa diminta dua kali dukun itu melakukan apa yang ku inginkan.
Sesampainya di rumah, darah masih terus keluar. Terpaksa kupakai. Pembalut had. Sebetulnya badanku lemas. Lemas sekali, perasaankku tidak karuan. Tidak enak, sakit, tapi kukuat- kuatkan diriku. Ibu tidak boleh tahu apa yang barusan kukerjakan juga ketika menerima kedatangan Irwan, aku bersikap seperti biasa.
Lemas rasanya seluruh tubuhku. Pusing makin lama badanku terasa makin tidak karuan. Panas dingin dan ketika tidak sengaja aku menggigil sedikit. Tempat dudukku terasa panas. Aku masih bisa merasakan cairan hangnat yang membanjiri tempat dudukku sebelum tiba-tiba seluruh dunia jadi gelap gulita. (hal 30-31).
Mandul ya, Tuhan ! itulah hukuman yang kau jatuhkan padaku ? Aku tak pernah jadi ibu lagi ? aku tak kau perkenalkan mempunyai anak lagi karena telah kusia-siakan anak yanng kau percayakan padakku ? bayangkan dengan perdarahan yang begitu hebat. Ditambah infeksi rahim yang luar biasa ganas. Aku tak masih hidup juga (hal. 32)
Masih jelas terpeta dalam ingatanku tahun-tahun pertama perkawinan kami yang sangat sulit. Tapi justru kesulitan itu yang membuat perkawinan kami tambah manis. Orang tuaku tidak menyetujui perkawinanku dengan Mas Irwan. Saat itu dia masih kuliah, untuk membiayai dirinya sendiri saja, gajinyja sebagai salesmen sudah pas-pasan. Bagaimana mau mengongkosi sebuah rumah tangga ?
Cerita memang aneh dari dulu sampai sekarang, cinta tetap anaeh. Tapi justru karena anehlah dia menjadi indah. Bayangkan Irwan yang calon Dokter itu. Irwan yang masih bersih. Apa yang dicarinya dalam diriku ?
Aku bukan perawan lagi. Dan tidak bisa jai ibu anak-anaknya. Lantas apa yang diharapkannya dari aku ?
“Cintamu” bisiknya, ketika kuajukan pertanyaan itu pada saat ia melamarmku.”
“Bersamaku akan ku buat kau tidak mengerti artinya bosan” katanya sambil meraihku dalam peluknya (hal. 36-37)
Pada tahun pekawinan kami yang kedua, mujizat itu pun terjadilah aku hamil. Oh kalau kau pernah merindukan kehadiran seorang bayi seperti yang ku alami, kau baru tahu kecewanya mendapat haid !
Diam-diam aku pergi sendiri memeriksakan air seniku. Dan hasilnya benar. Aku hamil ! ya tuhan ! Aku hamil ! ada seorang bayi lagi di rahimku. Persis seperti tiga tahun yang lalu. Tapi kali ini, bayi yang sangat ku dambakan buah kasih sayangku dengan mas Irwan. Benih laki-laki yang aku cintai. Oh hampir saja ku cium tangan dokter yangn memeriksaku itu ! (40-41)
Aku di tempatkan di Sumatera. Disebuah tempat terpencilyang tidak terdapat pada peta. Puskesmasnya pun belum jadi. Apabaila rumah dokternya. Bisikannya lembut.
Tetapi hari itu aku sedang gembira. Ditempatkan dimana saja aku tidak perduli kemanapun dia pergi aku pasti ikut (hal 41)
Ku letakkan bibirku di telinganya, kemudian dengan lembut kubisikan kata-kata yang telah lama kurindukan. Aku hamil, mas ! (hal 44)
“Mulai sekarang kau tidak boleh terlalu capek”
“biar aku yang ngepel kamar, memompa air”
“dan berhenti merokok” pulungku cepat
“akan kukurangi sedikit demi sedikit. Buat beli popok” (Hal 45)
Sejak semua sebenarnya dokter Siregar sudah meragukan kemampuan rahimku mengandung seorang bayi. Rahimku bisa pecah sewaktu-waktu. Dan kalau itu terjadi bahaya, mautlah yang menghilangkan diriku. Tapi aku telah bertekad memiliki anakku. Apapun yang terjadi. Aku telah menghilangkan kesempatan anakku yang pertama untuk mengecap kehidupan. Aku tidak akan membiarkan anakku yang kedua kehilangan haknya untuk hidup (hal 77-78)
Ketika kandunganku berumur delapan bulan, rahimku robek kembali. Dan aku merasakan nyeri yang bukan main hebatnya di perutku. Begitu nyerinya sampai di sentuh pun kulit perutku terasa sakit sekali. Apabila tergoncangn dalam taksi yang membawaku malam-malam ke rumah dokter Siregal. Dan perempuan muda yang membukakan pintu itu bukan main judesnya.
“Tolonglah, bu” Pinta mas irwan separuh meratap. Ya tuhan. Tidak tega rasanya mendengar mas Irwan memohon begitu. Kalau tidak begini rasanya sakit perut ini, kalau masih dapat ditahan, ingin rasanya ku panggil mas Irwan untuk pulang saja. Buat apa merengek-rengek begitu ! (hal 79).
“Tapi ini kesempatanku terakhir pula untuk mempunyai anak, mas !”
“Dan kesempatanku terakhir pula untuk memilikimu, Wita”
“Apakah artinya menjadi istrimu kalau tak dapat menjadi ibu anak-anakmu !”
“Jangan berkata begitu lagi, Wita ! Apa pun yang hilang darimu, kau tetap isteriku ! Dan aku ingin tetap memilikimu !” (Hal 82)
Sekarang mereka pasti telah mulai bekerja. Dokter Siregal telah memecahkan pisau operasinya ke atas perutnya. Dia mengeluarkan bayiku. Dan mengangkat rahimku .
“Aku tak punya……rahim……..lagi. Mas ?”
“Kita tidak memerlukan lagi Wita, kita sudah punya anak” (hal 86-87)